JURNAL
TENTANG MASALAH AKHLAK
oleh
ARLAN (2015.01.00.06.003)
PROGRAM
STUDI ISLAM
UNIVERSITAS
MUHAMMAD NATSIR
BUKITTINGGI
2016
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM
DI
ERA GLOBALISASI
Oleh:ARLAN
Abstrak
Problematika
pendidikan yang ada sekarang ini lebih terletak pada ketidak jelasan tujuan
yang hendak di capai, ketidak serasian kurikulum terhadap kebutuhan masyarakat,
kurangnya tenaga pendidik yang berkualitas dan profesional, terjadinya salah
pengukuran terhadap hasil pendidikan serta masih belum jelasnya landasan yang
di pergunakan untuk menetapkan jenjang-jenjang tingkat pendidikan mulai dari
tingkat dasar hingga keperguruan tinggi..Menyadari beratnya tantangan
perkembangan zaman ke depan, sistem pendidikan yang ada sekarang ini
haruslah mampu menyesuaiakan diri dengan koindisi riil dan mampu menjawab
berbagai problematika yang ada di dalamnya. Problematika kehidupan yang semakin
berat inilah yang menjadi beban utama pendidikan saat ini.
Kata
Kunci:Problematika, Pendidikan Islam dan Globalisasi
Pendahuluan
Istilah “Pendidikan Islam”
dipergunakan dalam dua hal, yaitu: satu, segenap kegiatan yang dilakukan
seseorang atau lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah
siswa. Dua, keseluruhan lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap program dan
kegiatannya atas pandangan dan nilai-nilai Islam.
Dalam menjelaskan arti Pendidikan
Islam akan banyak kita jumpai beberapa pandangan mengenai pengertian dari
Pendidikan Islam itu sendiri. Burlian Somad.1981, mengatakan bahwa Pendidikan
Islam adalah Pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi mahluk yang
bercorak diri, berderajat tinggi menurut ukuran Alloh dan isi pendidikannya
adalah mewujudkan tujuan itu, yaitu ajaran Alloh. Secara terperinci beliau
mengemukakan, pendidikan itu disebut Pendidikan Islam apabila memiliki dua ciri
khas yaitu
- Tujuannya membentuk individu menjadi bercorak tinggi
menurut ukuran Al-Qur’an.
- Isi Pendidikannya adalah ajaran Alloh yang tercantum
dengan lengkap didalam Al-qur’an yang pelaksanaannya didalam praktek hidup
sehari-hari sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan menurut Muhammad Naquib
al-Attas, (1992:18) bahwa pendidikan Islam merupakan pendidikan jasmani dan
rohani berdasarkan hukum-hukum Agama Islam menuju terbentuknya kepribadian
utama menurut ukuran-ukuran Islam yaitu suatu kepribadian muslim yang memiliki
nilai-nilai agama Islam, memiliki dan memutuskan serta berbuat berdasarkan
nilai-nilai Islam dan bertanggungjawab sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Dari beberapa uraian tersebut diatas
dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pendidikan Islam ialah usaha dalam
pengubahan sikap dan tingkah laku individu dengan menanamkan ajaran-ajaran
agama Islam dalam proses pertumbuhannya menuju terbentuknya kepribadian yang berakhlak
mulia, Dimana akhlak yang mulia adalah merupakan hasil pelaksanaan ajaran Islam
dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Oleh sebab itu individu yang memiliki akhlak mulia menjadi sangat
penting keberadaannya sebagai cerminan dari terlaksananya pendidikan Islam.
Sebagai negara yang berpenduduk
mayoritas muslim, pendidikan Islam mempunyai peran yang sangat signifikan di
Indonesia dalam pengembangan seumberdaya manusia dan pembangunan karakter,
sehingga masyarakat yang tercipta merupakan cerminan masyarakat islami. Dengan
demikian Islam benar-benar menjadi rahmatan lil’alamin, rahmat bagi seluruh
alam.
Namun hingga kini pendidikan Islam
masih saja menghadapi permasalahan yang komplek, dari permasalah konseptual-teoritis,
hingga persoalan operasional-praktis. Tidak terselesaikannya persoalan ini
menjadikan pendidikan Islam tertinggal dengan lembaga pendidikan lainnya, baik
secara kuantitatif maupun kualitatif, sehingga pendidikan Islam terkesan
sebagai pendidikan “kelas dua”. Tidak heran jika kemudian banyak dari generasi
muslim yang justru menempuh pendidikan di lembaga pendidikan non Islam.
Ketertinggalan pendidikan Islam dari
lembaga pendidikan lainnya, menurut Zainal Abidin Ahmad (1970:35), setidaknya
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
- Pendidikan Islam sering terlambat merumuskan diri untuk
merespon perubahan dan kecenderungan masyarakat sekarang dan akan datang.
- Sistem pendidikan Islam kebanyakan masih lebih
cenderung mengorientasikan diri pada bidang-bidang humaniora dan ilmu-ilmu
sosial ketimbang ilmu-ilmu eksakta semacam fisika, kimia, biologi, dan
matematika modern
- Usaha pembaharuan pendidikan Islam sering bersifat
sepotong-potong dan tidak komprehensif, sehingga tidak terjadi perubahan
yang esensial.
- Pendidikan Islam tetap berorientasi pada masa silam
ketimbang berorientasi kepada masa depan, atau kurang bersifat future
oriented.
- Sebagian pendidikan Islam belum dikelola secara
professional baik dalam penyiapan tenaga pengajar, kurikulum maupun pelaksanaan
pendidikannya.
Sistem Pendidikan Islam
Sistem pendidikan Islam merupakan solusi mendasar untuk
mengganti sistem pendidikan sekuler saat ini. Bagaimanakah gambaran sistem
pendidikan Islam tersebut? Berikut uraiannya secara sekilas.Pendidikan Islam
merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan
untuk membentuk manusia yang berkarakter, yakni:
Pertama, berkepribadian Islam. Ini
sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang
Muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir (’aqliyyah)
dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada akidah Islam.
Untuk mengembangkan kepribadian
Islam, paling tidak, ada tiga langkah yang harus ditempuh, sebagaimana yang
dicontohkan Rasulullah saw., yaitu:
- Menanamkan akidah Islam kepada seseorang dengan cara
yang sesuai dengan kategori akidah tersebut, yaitu sebagai ‘aqîdah
‘aqliyyah; akidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam.
- Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang
yang sudah memiliki akidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya
tetap berada di atas pondasi akidah yang diyakininya.
- Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk
pada seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh
mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyyah dan mengamalkan ketaatan
kepada Allah SWT.
Kedua, menguasai tsaqâfah Islam.
Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran
kewajibannya, menurut al-Ghazali dalam Ali Saifullah: (1987:19) ilmu dibagi
dalam dua kategori, yaitu:
- Ilmu yang termasuk fardhu ‘ain (kewajiban individual),
artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri
dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi saw.,
Ulumul Quran, Tahfizh al-Quran, ulumul hadis, ushul fikih, dll.
- Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban
kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu
terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian,
teknik.
Ketiga, menguasai ilmu kehidupan
(IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan
material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka
bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah,
yaitu jika ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi,
fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll.
Keempat, memiliki keterampilan yang
memadai. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan
keterampilan dan keahlian merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam, yang
harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah
Allah SWT. Sebagaimana penguasaan IPTEK, Islam juga menjadikan penguasaan
keterampilan sebagai fardlu kifayah, yaitu jika keterampilan tersebut sangat
dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri, penerbangan, pertukangan, dan
lainnya.
Agar keluaran pendidikan
menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus dibuat sebuah sistem pendidikan
yang terpadu. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek
saja. Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem
pendidikan yang unggul.
Dalam hal ini, minimal ada 3 hal
yang harus menjadi perhatian, yaitu : Pertama, sinergi antara sekolah, masyarakat,
dan keluarga. Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur di atas.
Sebab, ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan.
Saat ini ketiga unsur tersebut belum berjalan secara sinergis, di samping
masing-masing unsur tersebut juga belum berfungsi secara benar.
Buruknya pendidikan anak di rumah
memberi beban berat kepada sekolah/kampus dan menambah keruwetan persoalan di
tengah-tengah masyarakat seperti terjadinya tawuran pelajar, seks bebas,
narkoba, dan sebagainya. Pada saat yang sama, situasi masyarakat yang buruk
jelas membuat nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah
keluarga dan sekolah/kampus menjadi kurang optimum. Apalagi jika pendidikan
yang diterima di sekolah juga kurang bagus, maka lengkaplah kehancuran dari
tiga pilar pendidikan tersebut.
Kedua, kurikulum yang terstruktur
dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Kurikulum
sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan
pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya.
Selain muatan penunjang proses
pembentukan kepribadian Islam yang secara terus-menerus diberikan mulai dari
tingkat TK hingga PT, muatan tsaqâfah Islam dan Ilmu Kehidupan (IPTEK,
keahlian, dan keterampilan) diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya
serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya
masing-masing.
Pada tingkat dasar atau menjelang
usia baligh (TK dan SD), penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat
mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya.
Bin al-Khaththab, dalam wasiat yang dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya,
menuliskan, “Sesudah itu, ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang dan menunggang
kuda, dan ceritakan kepada mereka adab sopan-santun dan syair-syair yang baik.”
Khalifah Hisyam bin Abdul Malik mewasiatkan kepada Sulaiman al-Kalb, guru
anaknya, “Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku. Saya mempercayaimu
untuk mengajarnya. Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah
amanah. Pertama, saya mewasiatkan kepadamu agar engkau mengajarkan kepadanya
al-Quran, kemudian hapalkan kepadanya al-Quraan (Siti Meichati, 1980:15).
Di tingkat Perguruan Tinggi (PT),
kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Ideologi sosialisme-komunisme atau
kapitalisme-sekularisme, misalnya, dapat diperkenalkan kepada kaum Muslim
setelah mereka memahami Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain Islam dan
konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan,
melainkan untuk dijelaskan dan dipahami cacat-celanya serta ketidaksesuaiannya
dengan fitrah manusia.
Ketiga, berorientasi pada
pembentukan tsaqâfah Islam, kepribadian Islam, dan penguasaan terhadap ilmu
pengetahuan. Ketiga hal di atas merupakan target yang harus dicapai. Dalam implementasinya,
ketiga hal di atas menjadi orientasi dan panduan bagi pelaksanaan
pendidikan.Pendidikan Adalah Tanggung Jawab Negara
Islam merupakan sebuah sistem yang
memberikan solusi terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia. Setiap
solusi yang disajikan Islam secara pasti selaras dengan fitrah manusia. Dalam
konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban
untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang
diterapkan dan mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara
mudah.
Problematika Pendidikan Islam saat
Ini
Problematika pendidikan adalah,
persoalan-persoalan atau permasalahan-permasalahan yang di hadapi oleh dunia
pendidikan. Persoalan-persoalan pendidikan tersebut menurut “Burlian Somad”
dalam S.Wojowasito-W.J.S. Poerwadarminta (1988:12 )secara garis besar meliputi
hal sebagai berikut : Adanya ketidak jelasan tujuan pendidikan, ketidak
serasian kurikulum, ketiadaan tenaga pendidik yang tepat dan cakap, adanya
pengukuran yang salah ukur serta terjadi kekaburan terhadap landasan
tingkat-tingkat pendidikan.
Terkait dengan ketertinggalan
pendidikan Islam ini, menurut Muhaimin dikarenakan oleh terjadinya penyempitan
terhadap pemahaman pendidikan Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan
ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani
yang terpisah dengan kehidupan jasmani.
Jika melihat pendapat Muhaimin ini,
maka akan tampak adanya pembedaan dan pemisahan antara yang dianggap agama dan
bukan agama, yang sakral dengan yang profan antara dunia dan akhirat. Cara
pandang yang memisahkan antara yang satu dengan yang lain ini disebut sebagai
cara pandang dikotomik. Adanya simtom dikotomik inilah yang menurut Abdurrahman
Mas’ud sebagai penyebab ketertinggalan pendidikan Islam. Hingga kini pendidikan
Islam masih memisahkan antar akal dan wahyu, serta fakir dan zikir. Hal ini
menyebabkan adanya ketidakseimbangan paradigmatik, yaitu kurang berkembangnya
konsep humanisme religius dalam dunia pendidikan Islam, karena pendidikan Islam
lebih berorientasi pada konsep ‘abdullah (manusia sebagai hamba), ketimbang
sebagai konsep khalifatullah (manusia sebagai khalifah Allah).
Selain itu orientasi pendidikan
Islam yang timpang tindih melahirkan masalah-masalah besar dalam dunia pendidikan,
dari persoalan filosofis, hingga persoalan metodologis.
Di samping itu, pendidikan Islam
menghadapi masalah serius berkaitan dengan perubahan masyarakat yang terus
menerus semakin cepat, lebih-lebih perkembangan ilmu pengetahuan yang
hampir-hampir tidak memeperdulikan lagi sistem suatu agama.
Kondisi sekarang ini, pendidikan
Islam berada pada posisi determinisme historik dan realisme. Dalam artian
bahwa, satu sisi umat Islam berada pada romantisme historis di mana mereka
bangga karena pernah memiliki para pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan besar
dan mempunyai kontribusi yang besar pula bagi pembangunan peradaban dan ilmu
pengetahuan dunia serta menjadi transmisi bagi khazanah Yunani, namun di sisi
lain mereka menghadapi sebuah kenyataan, bahwa pendidikan Islam tidak berdaya
dihadapkan kepada realitas masyarakat industri dan teknologi modern.
Hal ini pun didukung dengan
pandangan sebagian umat Islam yang kurang meminati ilmu-ilmu umum dan bahkan
sampai pada tingkat “diharamkan”. Hal ini berdampak pada pembelajaran dalam
sistem pendidikan Islam yang masih berkutat apa yang oleh Muhammad Abed
al-Jabiri, pemikir asal Maroko, sebagai epistemologi bayani, atau dalam bahasa
Amin Abdullah disebut dengan hadharah an-nashsh (budaya agama yang semata-mata
mengacu pada teks), di mana pendidikan hanya bergelut dengan setumpuk teks-teks
keagamaan yang sebagian besar berbicara tentang permasalahan fikih semata.
Terjadinya pemilahan-pemilahan
antara ilmu umum dan ilmu agama inilah yang membawa umat Islam kepada
keterbelakangan dan kemunduran peradaban, lantaran karena ilmu-ilmu umum
dianggap sesuatu yang berada di luar Islam dan berasal dari non-Islam atau the
other, bahkan seringkali ditentangkan antara agama dan ilmu (dalam hal ini
sains). Agama dianggap tidak ada kaitannya dengan ilmu, begitu juga ilmu
dianggap tidak memeperdulikan agama. Begitulah gambaran praktik kependidikan
dan aktivitas keilmuan di tanah air sekarang ini dengan berbagai dampak
negataif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat.
Sistem pendidikan Islam yang ada
hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja. Di sisi lain, generasi muslim yang
menempuh pendidikan di luar sistem pendidikan Islam hanya mendapatkan porsi
kecil dalam hal pendidikan Islam atau bahkan sama sekali tidak mendapatkan
ilmu-ilmu keislaman.
Dari berbagai persoalan pendidikan
Islam di atas dapat ditarik benang merah problematika pendidikan Islam yaitu:
- Pertama, masih adanya problem konseptual-teoritis atau
filosofis yang kemudian berdampak pada persoalan operasional praktis.
- Kedua, persoalan konseptual-teoritis ini ditandai
dengan adanya paradigma dikotomi dalam dunia pendidikan Islam antara agama
dan bukan agama, wahyu dan akal serta dunia dan akhirat
- Ketiga, kurangnya respon pendidikan Islam terhadap
realitas sosial sehingga peserta didik jauh dari lingkungan sosio-kultural
mereka. Pada saat mereka lulus dari lembaga pendidikan Islam merka akan
mengalami social-shock.
- Keempat, penanganan terhadap masalah ini hanya
sepotong-potong, tidak integral dan komprehensif
Solusi Problematika Pendidikan Agama
Islam
Solusi Problematika Pendidikan Islam
saat ini mencermati kenyatan tersebut, maka mau tidak mau persoalan konsep dualisme-dikotomik
pendidikan harus segera ditumbangkan dan dituntaskan, baik pada tingkatan
filosofis-paradigmatik maupun teknis departementel. Pemikiran filosofis menjadi
sangat penting, karena pemikiran ini nanti akan memeberikan suatu pandangan
dunia yang menjadi landasan idiologis dan moral bagi pendidikan.
Pemisahan antar ilmu dan agama
hendaknya segera dihentikan dan menjadi sebuah upaya penyatuan keduannya dalam
satu sistem pendidikan integralistik. Namun persoalan integrasi ilmu dan agama
dalam satu sistem pendidikan ini bukanlah suatu persoalan yang mudah, melainkan
harus atas dasar pemikiran filosofis yang kuat, sehingga tidak terkesan hanya
sekedar tambal sulam. Langkah awal yang harus dilakukan dalam mengadakan
perubahan pendidikan adalah merumuskan “kerangka dasar filosofis pendidikan”
yang sesuai dengan ajaran Islam, kemudian mengembangkan secara “empiris
prinsip-prinsip” yang mendasari terlaksananya dalam konteks lingkungan (sosio
dan kultural)Filsafat Integralisme (hikmah wahdatiyah) adalah bagian dari
filsafat Islam yang menjadi alternatif dari pandangan holistik yang berkembang
pada era postmodern di kalangan masyarakat barat.
Inti dari pandangan hikmah
wahdatiyah ini adalah bahwa yang mutlak dan yang nisbi merupakan satu kesatuan
yang berjenjang, bukan sesuatu yang terputus sebagaimana pandangan ortodoksi
Islam. Pandangan Armahedi Mahzar, pencetus filsafat integralisme ini, tentang
ilmu juga atas dasar asumsi di atas, sehingga dia tidak membedakan antara ilmu
agama dan ilmu umum, ilmu Tuhan dan ilmu skular, ilmu dunia dan ilmu akhirat.
Dari pandangan dia tentang kesatuan tersebut juga akan berimplikasi pula pada
pemikiran Armahedi pada permasalahan yang lain, termasuk juga pendidikan Islam.
Bagi Armahedi, pendidikan Islam
haruslah menjadi satu kesatuan yang utuh atau integral. Baginya,
manusia-manuisa saat ini merupakan produk dari pemikiran Barat Modern yang
mengalami suatu kepincangan, karena merupakan suatu perkembangan yang parsial.
Peradaban Islam adalah contoh lain. Keduanya dapat ditolong dengan membelokkan
arah perkembangannya ke arah perkembangan yang evolusioner yang lebih
menyeluruh dan seimbang. Hanya ada beberpa sisi saja dari kehidupan manusia
yang dikembangkan. Begitu juga halnya dengan masyarakat yang ada, pada
hakikatnya adalah cerminan dari satu sistem pendidikan yang ada saat itu.
Masyarakat saat ini adalah
masyarakat materialis yang dapat dibina dengan menggunakan suatu mesin raksasa
yang bernama teknostrutur. Di sini ada satu link yang hilang, yaitu
spiritualisme. Dengan demikian, pendidikan sebagai produksi sistem ini haruslah
mengembangkan seluruh aspek dari manusia dan masyarakat sesuai dengan fitrah
Islam, yaitu tauhid.
Pandangan filosofis inilah yang
menjadikan pentingnya kajian terhadap pemikiran Armahedi Mahzar tentang sistem
pendidikan Islam integratif, karena permasalahan pendidikan sebenarnya terletak
pada dua aspek, filosofis dan praktis. Persoalan filosofis ini yang menjadi
landasan pada ranah praktis pendidikan. Ketika ranah filosofis telah terbangun
kokoh, maka ranah praktis akan berjalan secara sistematis. Dengan demikian,
filsafat integralisme atau hikmah wahdatiyah nantinya akan menjadi landasan
idiologis dalam pengembangan sistem pendidikan integratif.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari sekian banyak uraian yang telah
penulis tuangkan, dapatlah penulis simpulkan, hal-hal sebagai bertikut :
Sesungguhnya problematika pendidikan
yang ada sekarang ini lebih terletak pada ketidak jelasan tujuan yang hendak di
capai, ketidak serasian kurikulum terhadap kebutuhan masyarakat, kurangnya
tenaga pendidik yang berkualitas dan profesional, terjadinya salah pengukuran
terhadap hasil pendidikan serta masih belum jelasnya landasan yang di
pergunakan untuk menetapkan jenjang-jenjang tingkat pendidikan mulai dari
tingkat dasar hingga keperguruan tinggi.
Solusi yang penulis tawarkan dalam
mencari pemecahan masalah , adalah perlunya meninjau dan merumuskan kembali
secara realistis terhadap problematika yang sedang dihadapi oleh dunia
pendidikan kita selama ini.
Wahai kaum Muslim, apakah sistem
pendidikan sekuler yang rusak dan bobrok saat ini akan terus kita pertahankan?
Apakah sistem pendidikan yang buruk lagi gagal ini akan terus kita lestarikan?
Marilah kita bergegas membangun
sistem pendidikan Islam, dalam negara Khilafah, yang akan melahirkan generasi
yang berkepribadian Islam. Generasi inilah yang akan mampu mewujudkan
kemakmuran dan kemuliaan peradaban manusia di seluruh dunia. Wallâhu a‘lam bi
ash-shawâb.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad
Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Suatu Rangka pikirPembinaan
Filsafat Pendidikan Islam; Terjemahan Haidar Bagir, cet. Ke-4 (
Bandung:Mizan,l992),h.7.
Zainal Abidin Ahmad,
Memperkembang dan Mempertahankan Pendidikan Islam di Indonesia, cet.ke-1
(Jakarta:PT.Bulan Bintang, 1970 ),h.15.
Hasta,1980),h.159.